Google+

Surat yang Nggak Akan Sampai

8

December 5, 2012 by Grace Susilowati Man


Surabaya, 5 Desember 2012

Buat Pak Ino yang ada di manapun saat ini.

Aku mencoba nulis sebuah surat buat Bapak nih. Ya, aku tau koq,Pak. kalo Pak Ino g mungkin bisa baca surat ini secara langsung. Bahkan mungkin saat melihat aku menulis surat ini untuk Bapak, Bapak sedang mengata-ngataiku seperti biasanya, “Goblok Kamu! Ngapain nulis surat buat orang yang sudah nggak ada?”. Yah, biarlah sekali ini aku melawan Bapak.

Aku pertama kali lihat Bapak waktu yudisium tahun 2009. Kesan pertama ngeliat Bapak adalah Bapak itu dosen ganjen. Iya, Ganjen. Maap lho, Pak. Waktu itu aku melihat Bapak memeluk anak-anak bimbingan Bapak untuk berfoto bersama dan juga mencium pipi mereka. Yang aku pikirkan Cuma Bapak adalah dosen ganjen biasa. Itu sewaktu aku semester satu, masih cupu.

Masuk semester tiga, aku sudah banyak denger cerita tentang betapa menakutkannya Bapak. Nah, saat itu, gelar Bapak di mataku jadi meningkat, Dosen Ganjen Yang Serem. Pertemuan pertama, aku Cuma ngerasa takut. Tapi apa daya, mataku ini rabun jauh. So, aku nekat duduk di depan. Nah, setelah kuliah asas-asas manajemen (asmen) dimulai, aku baru merasakan kekuatan Bapak yang sesungguhnya. Bapak bener-bener meminta semua anak untuk belajar. Jujur ya, Pak. Buku Management The Basic yang Bapak gunakan untuk mata kuliah asmen itu adalah buku pertama yang aku baca di psikologi dengan serius. Itu juga buku kuliah pertamaku yang paling lecek gara-gara dicoret-coret. Yang paling diinget itu sensasi kuliah di kelas Bapak. Aku ngerasain perasaan takut, deg-degan, penasaran, tapi nggak rela sekali pun bolos secara sengaja dalam kuliah Bapak. Bapak punya magnet dalam kuliah-kuliah Bapak. Aku juga inget keberanian Bapak memberikan nilai E untuk mahasiswa sekelas. Cuma gara-gara ada satu anak yang bersuara saat waktu test mingguan tinggal 5 menit. Kami sekelas protes. Mengapa tes dibatalkan dan kami mendapat nilai E hanya karena satu anak. Aku mendapatkan pelajaran hidup dari Bapak yang pertama di hari itu. Bapak bilang bahwa Bapak ingin mengajarkan bahwa manusia mempunyai tanggung jawab sosial terhadap semua perilakunya. Satu perilakumu dapat menyebabkan banyak orang lain susah. Bapak memberikan contoh para koruptor. Koruptor berbuat demi kepentingan pribadinya dan tidak memikirkan konsekuensi bagi rakyat. Bapak tidak ingin kami seperti itu dan mendidik kami dengan nilai E untuk sekelas. Iya, aku marah sama Bapak waktu itu karena dapet nilai E. tapi sekaligus kagum dengan nasihat Bapak.

Setelah selamet dari asmen, aku nekat ngambil PMDO, Pak. Iya, kelas yang Bapak ajar lagi di semester empatku. Di kelas ini, aku selalu berusaha bersembunyi dari Bapak. Aku takut ditanyain berapa IPK ku saat itu dan dilanjutkan dengan berbagai pertanyaan menohok seperti: “Dengan IPK segitu, sudah berapa buku yang kamu baca sampai habis?” (Cuma buku asmen yang Bapak kasih). “Berapa nilai statistikmu?” “Kalo bagus, apa itu mean? Jangan dijawab rata-rata. Itu Cuma bahasa Indonesianya”. Dan sebagainya. Ya, aku takut sama Bapak. Aku Cuma rajin ikut kelas Bapak yang selalu inspiratif dan memaksa aku untuk membaca buku PMDO. Namun, suatu sore, Bapak membuat aku kaget. Saat itu, aku lagi nongkrong di PMPM sama Kuma. Lalu tiba-tiba Bapak masuk dan menyapa Kuma. Kuma emang udah kaya cucu sendiri buat Bapak di saat banyak mahasiswa yang takut sama Bapak. jadi Bapak tahu apa yang kuharapkan saat itu? Aku tidak ingin Bapak menyadari keberadaanku. Aku hanya diam tak bersuara saat Bapak bercakap-cakap dengan Kuma. Sampai suatu saat, Bapak bertanya kepadaku: “Gimana ujian PMDOmu? Isok?” Aku kaget. Ternyata diantara 50 anak lebih, Bapak sadar kalo aku adalah salah satu mahasiswa Bapak. Aku yang waktu itu Cuma bisa nyengir nggak jelas dan menjawab Bapak bahwa aku nggak yakin dengan jawabanku.

Semakin tua semesterku, semakin sering aku dapet kelas Bapak. Terlebih lagi, aku memilih peminatan PIO. Sebenernya aku milih PIO juga karena Bapak. Aku rindu dipaksa belajar. Yah, emang shame on me, kaya kata-kata Bapak (shame on you), aku ini harus dipaksa buat belajar. Bukannya semakin takut, aku semakin kagum sama Bapak. Aku sudah nggak inget lagi pernah melabel Bapak sebagai dosen ganjen. Aku menaruh hormat sepenuhnya sama Bapak. Bonus takut juga sih, Pak. hehehehe. Setiap kelas Bapak selalu memberikan inspirasi dan nasihat buat bekal hidup. Walaupun, nasihat itu dibalut dengan ucapan setajam pedang dan pasti membuat hati berdarah-darah. Jadi, kalo mau dapet inti dari nasihat Bapak, aku harus berani menahan rasa sakit kata-kata Bapak dan tetap memikirkan maksud baik di dalamnya. Kalo Psikologi Unair itu ibaratnya Hogwarts, Pak Ino itu kaya Severus Snape. Antagonis tapi dikenang dan dicintai di ending. Nggak pake cinta bertepuk sebelah tangan pastinya.

Satu pertanyaan Bapak yang masih aku inget adalah aku SMA di mana. Aku njawab kalo aku SMA Frateran Surabaya. Spontan Bapak bilang: “Bodo kamu mau masuk di Unair.” Aku Cuma senyum-senyum. Sekarang aku bisa bilang, Pak. aku nggak bodo. Tuhan emang ngerencanain aku masuk sini supaya bisa belajar dari orang hebat kaya Bapak.

Pak, kata-kata Bapak emang bener bahwa manusia itu paradoks, pas kecil pengen dewasa, pas dewasa pengen jadi anak kecil dan bertingkah laku kaya anak kecil. Bapak lihat dari sana kan? Waktu Bapak masih hidup, banyak banget mahasiswa yang ngerasani kejahatan Bapak di dalem kelas. Tapi sekarang pas Bapak udah nggak ada, di twitter, di blog pribadi, di fakultas, bahkan di kamar masing-masing, banyak orang yang terpaku mengenang Bapak sambil meneteskan air mata. I’m the one of them, Sir.

Sekarang, Bapak udah pergi selamanya. Nggak akan ada lagi yang memberikan inspirasi berbalut kata-kata setajam pedang. Atau warning-warning menjadi kuli di negeri sendiri. tapi yakinlah Pak, benih-benih yang Bapak tabur mulai tumbuh di hati mahasiswa Bapak. Entah kapan akan berbuah. Mungkin buahnya dapat menjadikan Indonesia lebih baik seperti impian Bapak. Rest in Peace, Pak. Biar kami yang mengambil tongkat estafetmu.

Senyumnya bagus, Pak.

8 thoughts on “Surat yang Nggak Akan Sampai

  1. Rahkman Ardi says:

    trembling… thx for share 🙂

  2. Keren Grace… Ijin share di FB 🙂

  3. […] Surat yang Gak Akan Sampai oleh Grace Susilowati Man The Guru and The Inspiration oleh A Ditya Wardhana Beberapa Obrolan Ringan Bersama Pak Ino…oleh Wiwin Hendriani […]

  4. visi says:

    aku nangis lagi habis baca ini hehehe
    ayo tanggung jawab, kasih aku sushi gratis hehehe :p

    btw kalo gak salah, setauku mean itu titik keseimbangan data

Silakan dicomment